SMOKE FREE

Senin, 15 Februari 2016

#GOWESHORE "BIKE FOR ONE"
(EPS. 2: PULOGADUNG - MUSEUM FATAHILLAH - POLOGADUNG, 37 Km)

#GowesHore Episode 2 ini berulangkali tertunda. Rutenya yang akan ditempuh juga beberapa kali berubah. Tapi akhirnya diputuskan, 14 Februari 2016 kami akan gowes ke arah Pantai Mutiara, Pluit, Jakarta Utara.  Dengan rute pulang melalui Monas dan Bundaran HI, Strava mencatat rute yang akan kami lalui adalah sekitar 50 km. Tak jauh berbeda dengan #GowesHore ke Marunda, Desember silam.


Kelar mandi junub

H-1 adalah waktunya persiapan. Memandikan Si Keong, jadi menu wajib setiap kali jelang #GowesBareng ataupun touring. Selesai memandikan Si Keong, menu berikutnya tentu lubrikasi, alias memberi lubricant (baca: chainlube).

Kelar semuanya, waktunya mengisi asupan nutrisi dan istirahat. 2 hal yang sama pentingnya, sebelum gowes.


Mengawali gowes dengan senyum. 
Menanti rombongan, kala matahari saja belum mulai bekerja

Sadly, #GowesHore kali ini akhirnya hanya diikuti 3 orang, minus Jonas yang sebelumnya ikut di #GowesHore Eps. 1

Sebelumnya telah disepakati, rute #GowesHore kali ini akan start dari Pulogadung, melalui Kelapa Gading, Sunter, Rest Point 1: Museum Fatahillah, Waduk Pluit, hingga berujung di Rest Point 2: Pantai Mutiara. Dan selanjutnya kami akan kembali ke Pulogadung melalui Rest Point 3: Monas, Zona Car Free Day Sudirman, Rest Point 4: Taman Surapati, dan finish kembali di Pulogadung.


Rencana Rute #GowesHore Eps. 2

Tapi boro-boro ke Pantai Mutiara. Baru sampai Kelapa Gading alias sekitar 10 km gowes saja, rencana langsung berubah. 2 suara: Fatahillah langsung balik arah CFD Sudirman. Ya sudah lah, terpaksa saya ikut instruksi peloton. :P


Fly-Over Kemayoran. Suram betuuuuul itu dengkul :)

Nunggu aki-aki yang nuntun sepeda :P
Sekitar pukul 08.00 kita tiba di Museum Fatahillah. Dan tentunya tak hanya kita bertiga yang memilih tempat ini sebagai persinggahan gowes hari Minggu itu. Beberapa peloton kecil dan goweser solo juga terlihat duduk-duduk, sekedar melepas lelah dan ngopi di Museum yang sejak dulu jadi salah satu ikon kota Jakarta ini.
Menu utama bagi kami bertiga, apalagi kalau bukan photo-photo. :)



Gak ada keringatnya nih gowes segini doang mah...
Pacific Tranzline 900, KHS, Wimcycle RC-DX
Macam di Eropa nih ...hihihihi


Ki-Ka: Bayu aka si saya, Rifky, Reza
20 menit saja kami menghabiskan waktu di sini. Alasannya apalagi kalau karena takut keburu panas. *Haduh.....goweser macam apa pula ini, kok takut panas... 

Dari Museum Fatahillah, kami langsung menuju kawasan Car Free Day Jl. Sudirman, dengan menyusuri Jl. Hayam Wuruk, dan melalui Monas. 

Peloton hura-hura

Sayangnya, baru sampai perempatan Jl. MH. Thamrin - Jl. KH Wahid Hasyim kami terpaksa berbelok karena terlihat kondisi jalanan makin padat. Apalagi sekilas terlihat daerah sekitar Bundaran HI sudah sedemikian padatnya dengan kumpulan massa.

Berbelok ke Jl. Gereja Theresia, kami lalu mengarahkan laju sepeda kami ke Taman Menteng, Taman Surapati, dan Taman Lembang. Bukan mencari spot untuk kembali ber-photo , tapi untuk mencari sarapan :P

Dan pencarian kami pun akhirnya berujung di Jl. Taman Lembang. Bubur ayam jadi teman kami melepas lelah dan lapar selama sekitar 30 menit. Walau dalam suasana gowes dan liburan, topik pembicaraan kami tetaplah soal pekerjaan. Ini karena kami begitu cintanya dengan pekerjaan kami. 

Kelar sarapan dan membicarakan pekerjaan kantor yang begitu penting dan mendesak, kami pun memutuskan untuk lanjut gowes ke arah Pulogadung. Dengan susah payah sebetulnya yang kepayahan hanya Rifky sih, jarak sekitar 9 km hingga Pulogadung pun kami tempuh selama 30 menit.

Total, saya sendiri menempuh perjalanan 43,2 km (minus perjalanan kembali menuju kost) dalam #GowesHore Eps. 2 ini. 

Catatan Strava saya: 
Distance        : 43,2 km
Moving Time  : 2 hrs 19 mins
Elapsed Time : 4 hrs 57 mins
Avg. Speed    : 18,7 km/h
Max. Speed    : 46,4 km/h
Est. Calories  : 1.801 cal

Next trip ke mana ya? Sepertinya harus mulai beranjak dari angka psikologis 50 km nih :)





Bayu Adhiwarsono©

Senin, 01 Februari 2016

RACUN

Banyak orang bilang, sepeda itu racun.

Niat awalnya beli 1 sepeda, lama-lama koleksi sepeda bukan hanya parkir di garasi, tapi juga masuk hingga ruang tamu, ruang keluarga, bahkan mungkin kamar tidur.

Awalnya cuma ingin gowes keliling komplek, tak lama kemudian justru ingin keliling Indonesia pakai sepeda.

Ketika beli, "Saya sih sepedanya standar aja, yang penting kan sepedahannya bukan sepedanya"-lah yang kerap terdengar. Belum kelar inreyen, tahu-tahu budget buat upgrade sudah lebih dari harga sepedanya sendiri.

Istri saya tercinta dari awal saya kembali bersepeda sudah wanti-wanti, jangan sampai saya terlalu anteng sama sepeda. Bukan hanya soal waktu yang dihabiskan bersama sepeda, tapi juga tentu budget yang dihabiskan. Urusan dapur dan kebutuhan istri dan anak-anak tetap harus jadi prioritas.

Itu makanya saya berusaha keras menahan godaan racun yang kencang berhembus dari kanan-kiri-depan-belakang-atas-bawah :)

Racun No. 1: PEDALS

Tapi akhirnya iman saya pun jebol, tak sampai 1 bulan Si Keong saya pinang dari si empunya terdahulu. Racun pertama yang saya tebus, adalah sebuah pedal murah meriah di Acin Bike Corner seharga 75 ribu rupiah. Lumayan, paling tidak saya tak perlu khawatir pedal bakal rusak kalau tak sengaja terbentur trotoar.

Racun No. 2: TYRES

Gowes mondar-mandir kost-kantor, lama-lama kok makin terasa berat dengan ban knobby bawaan Si Keong. Alhasil, diboyonglah sepasang ban United Oshaka 26x1,50 murah dari bengkel sepeda dekat rumah seharga 200 ribu rupiah. Dan betul saja, perbedaannya langsung terasa. Average Speed pun meningkat hingga 5 km/jam. Itu efek positifnya. Efek sampingnya, mau tak mau kini saya harus makin cerdik memilih permukaan jalan yang akan dilalui Si Keong. Kerikil, jalan berlubang, atau jalan dengan permukaan tanah pun pasir, sebisa mungkin harus dihindari.

Racun No. 3: COCKPIT

2 Bulan gowes, racun berikutnya mulai menjalar. Kali ini sektor cockpit yang terkena sentuhan. Handlebars alias stang bawaan pabrik yang model Low-Rise dengan stem agak panjang, membuat posisi badan agak membungkuk.

"Kokpit ala XC kayaknya enak nih...". Itu yang terlintas di benak saya.

Digoweslah Si Keong ke arah Bekasi, tepatnya ke Usaha Baru Cycle, di Jalan Asyafiyah.

Usaha Baru Cycle, dengan parkiran luasnya

Pilihan pun jatuh pada United XC Hi-Rise Handlebars 700mm seharga 125 ribu rupiah. Berhubung stem lama tak bisa mengakomodir, "terpaksa" ditebus juga stem Zoom model short dengan harga sama. Total 250 ribu rupiah saya rogoh demi cockpit yang lebih nyaman.

Review singkat,

plus:
  • posisi badan ketika gowes pun menjadi lebih tegak, punggung dan tangan tidak pegal menahan beban
  • posisi riding di jalanan menurun lebih maksimal. Beban tubuh secara natural lebih condong ke belakang dibanding setting-an terdahulu

minus:
  • aerodinamis tentu dikorbankan. Badan jadi lebih menabrak angin, mengurangi kecepatan laju sepeda
  • untuk medan tanjakan, butuh effort lebih dengan memindah posisi tangan ke bar ends 
  • untuk keperluan commuter harus lebih berhati-hati. Lebar stang yang 700 mm membuat saya harus menyesuaikan diri lagi untuk jika ingin nyelap-nyelip di tengah kemacetan



Pembedahan kokpit Si Keong


Si Keong with United XC Hi-Rise Handlebars
Stem Zoom


Racun No. 4: GROUPSET

Dan mengawali tahun 2016, inilah racun terbaru yang menempel di Si Keong:
  • Sproket Shimano MF-TZ31 MegaRange 14-34T. Saya lupa harga persisnya, tapi di Bukalapak dibanderol sekitar 90 ribu rupiah
  • Rear Derailleur Shimano Acera 7 Speed seharga 225 ribu rupiah
  • dan tentunya biar lebih afdol saya pun "terpaksa" meminang rantai baru 7 speed seharga 45 ribu rupiah
Bukan tanpa alasan saya terpapar racun groupset ini. Pengalaman ketika gowes Jakarta - Bandung tempo hari, tanjakan di rute Purwakarta hingga Padalarang terasa begitu menyiksa. Butuh senjata andalan lain, untuk mengimbangi dengkul saya yang memang cuma segitu-gitunya. :P

Senjata andalan untuk melahap tanjakan
Sproket MegaRange yang memang didesain untuk keperluan gowes di tanjakan jadi harapan saya untuk mengurangi ttb alias tuntun bike :). Sementara RD baru dengan spesifikasi yang lebih mumpuni juga dibutuhkan untuk membuat perpindahan gigi berlangsung lebih smooth. Dan rantai baru, adalah pelengkapnya.

Memasuki bulan ke-4, inilah penampilan terakhir Si Keong

Sekarang mari berhitung, sudah berapa racun yang menjalar di tubuh Si Keong, di usianya yang memasuki 4 bulan bersama saya.

Pedals                            Rp.   75.000
Tyres                              Rp. 200.000
Handlebars and Stem        Rp.  250.000
Sproket MegaRange          Rp.    90.000
RD Acera 7 Speed            Rp.  225.000
Rantai 7 Speed                Rp.    45.000
                                         _____________
Total                                  Rp.  885.000

Masih ingat tulisan saya di sini ? Kala itu, total biaya yang saya keluarkan untuk keperluan gowes (termasuk harga sepeda) adalah Rp. 1.605.000. Tentunya tidak termasuk biaya service atau perawatan rutin, sepertian pergantian brake levers, brake cabels, setting RD dan FD, dan lain sebagainya.

Sooooo.........hingga tulisan ini saya buat, berarti saya telah merogoh kocek  Rp. 2.490.000 untuk menunjang saya bersepeda. Hmmmm.......walau sudah lebih dari 2 kali lipat harga sepedanya, sepertinya sih masih masuk akal.

Kira-kira racun apalagi ya yang bakal "menghantui" Si Keong ?





Bayu Adhiwarsono©