Menulis itu seperti candu.
Tak hanya soal bagaimana menulis selalu membuat kita ingin kembali,
dan kembali menulis. Tapi soal bagaimana memulainya pun, memang seperti
candu. Pernah dengar kan orang bilang, “Yang susah itu nulis awalnya.
Kalau udah nemu awalnya mah, gampang nerusinnya”.
Nah, kembali ke soal candu. Eh, soal menulis itu seperti candu, maksud saya.
Ya, menulis itu memang lebih sering susah perkara memulainya. Lead,
biasanya para jurnalis menyebutnya. Begitu banyak ide yang ada di kepala
untuk satu topik saja, butuh satu Lead bagus, sehingga tulisan kita
enak dibaca, alias nyambung. Tak usah bicara soal riset atau pendalaman
materi ya, itu mah sudah jadi kewajiban.
Biasanya begitu kita menemukan awal yang bagus untuk memulai
tulisan, selanjutnya bakal jadi perkara (setidaknya agak) mudah.
Sebentar, kok tiba-tiba saya teringat candaan soal supir bajaj atau bemo
yah ? “yang penting kepalanya masuk, buntutnya tinggal ngikutin”.
Terdengar agak mirip kan ? Jadi yang benar, menulis itu ibarat candu,
atau ibarat menyetir bajaj atau bemo ?? Nah, kebingungan seperti inilah,
yang bikin penulis jadi bingung sendiri di tengah-tengah tulisan. Ah,
tapi itu mah saya saja yang bego sepertinya, hehe.
Oke, sebelum kita atau saya makin bingung terus jadi gila dan bikin
sempit RSJ atau terlantar di jalan karena dibuang Karang Taruna setelah
bikin rusuh kampung, anggap sajalah kita sudah menemukan awalan yang
bagus untuk membuat suatu tulisan, lalu ?
Ternyata, menulis ibarat candu itu, tak cuma di awal saja lho ! Tak
percaya ? Ya tak apa-apa juga sih kalau banyak yang tak percaya sama
saya, kalau percaya ntar malah musyrik, berabe. Ini tulisan soal apa sih
sebenarnya ya, hehe.
Ya…ya…saya kembali bicara soal menulis ibarat candu saja lah. Jadi
begini, mengawali tulisan, memang mirip kalau kita mengawali kecanduan
pada obat-obatan terlarang. Susah mengawalinya, penuh ketakutan, tapi
sekali mengenal maka kita akan terjerumus semakin dalam. Cieee….dalam
betul, mirip sumur. Tapi ternyata tak cuma itu saja lho yang membuat
menulis itu ibarat candu. Berani membuktikannya ? Pasti berani lah, toh
untuk anda-anda yang sampai membaca tulisan saya saja itu sudah
membutuhkan keberanian tingkat tinggi, dan perut kebal akan perasaan
mual, hehe.
Jadi begini, bayangkan anda tengah menulis suatu. Untuk yang sudah
memiliki anak (yang belum punya anak, bayangkan gangguan apa saja yang
kira-kira tak bisa diabaikan, gangguan bom juga boleh, hehe), bayangkan
tiba-tiba anak anda rewel bukan main. Minta gendong, minta jajan, atau
justru minta ibu baru, hehe. Saya nyaris berani bertaruh, cuma nyaris
lho ya, karena bertaruh atau judi itu haram. Saya nyaris berani
bertaruh, setelah coba menghibur anak anda, ide yang tadinya mengalir
seperti sungai (bukan sungai Ciliwung yang sekarang nyaris tak mengalir
lagi karena sampah) itu mendadak menguap entah kemana. “Tadi gua mau
nulis apa yah?”.
Sekarang, saya butuh anda untuk bertanya pada saudara-saudara kita
yang pernah atau masih menggunakan candu atau narkoba. Kalau mereka
sedang menggunakan narkoba, lalu ada penggerebekan atau kebakaran deh,
kira-kira bagaimana tuh rasanya.
Kesimpulan saya, menulis itu memang betul ibarat candu. Di awal, di
tengah-tengah, dan di akhir. Sama-sama sulit mengawalinya, sama-sama tak
enak kalau diganggu, dan sama-sama membuat kecanduan. Jadi mending
mana? kecanduan gara-gara narkoba, atau menulis ? Ini pertanyaan
retorika ya, CATAT !
Oke, sepertinya tulisan saya mulai kepanjangan nih. Sebelum
digerebek aparat, mending saya sudahi dulu saja. Lain waktu, kita
mencandu lagi, bray.
bandung, empat pertama di duaribuduabelas, 11.28
Bayu Adhiwarsono©